2025-01-06 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang cukup menggemparkan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) membuat sejumlah orang khawatir atas dampak yang ditimbulkannya ke depan.
Sebab,MK bukan sekadar membatalkan ambas batas raihan 20 persen kursi parlemen atau 25 persen raihan suara sah nasional,tapi juga menyatakan bahwa berapa pun besarannya,persentase ambang batas pencalonan pasangan presiden dan wakilnya bertentangan dengan Konstitusi.
Kekhawatiran sejumlah pihak,di antaranya,terkait mandat kuasa dan legitimasi presiden terpilih,andaikan pasangan terpilih nanti adalah calon dari partai kecil yang minim kursi di parlemen.
Baca juga: Penghapusan Presidential Threshold dan Masa Depan Pemilu Indonesia
Atau,calon terpilih mendapatkan suara terbanyak,tapi dengan angka raihan yang tidak signifikan karena suara pemilih terdistribusi ke sejumlah kandidat yang berjibun.
Jika terlalu banyak kandidat bersaing,maka suara pemilih dapat tersebar sangat tipis di antara calon. Dalam kondisi seperti ini,seorang kandidat hanya akan meraih mayoritas relatif,tidak meraih mayoritas absolut suara pemilih.
Kondisi di atas dikhawatirkan akan menimbulkan instabilitas pemerintahan karena dinamika politik di parlemen yang tidak akan mudah dikendalikan.
Atau karena presiden terpilih mendapatkan mandat mayoritas yang minim,sehingga akan terhambat menjalankan program-program pemerintahannya.
Kekhawatiran sebagian orang di atas beralasan ketika menghubungkan raihan angka suara sebagai instrumen legitimasi pemerintahan.
Namun,dalam demokrasi sejati,legitimasi bukan hanya soal angka,tetapi juga soal kemampuan aktor politik untuk mengelola dinamika politik.
Baca juga: Kisah Empat Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Gugat MK demi Hapuskan Presidential Threshold
Paling tidak,kita memiliki dua hal yang dapat diandalkan untuk menghadapi “badai penghapusan ambang batas”,yaitu budaya politik dan aturan Konstitusi tentang sistem Pilpres.
Budaya politik Indonesia tertandai oleh fleksibilitas tinggi dalam praktik koalisi. Kita memiliki sejarah bahwa koalisi politik di negeri ini mencerminkan semangat gotong royong,bukan sekadar perilaku politik pragmatis.
Sampai pun dalam situasi dengan fragmentasi politik yang tajam,aktor-aktor politik di kita mampu menemukan jalan tengah untuk membangun koalisi pemerintahan.
Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming saat ini melibatkan koalisi besar dari berbagai partai yang sebagiannya malah lawan kontestasi.
Termasuk pada Pemilu 2004,Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden hanya bermodalkan tiga partai kecil,yaitu Demokrat,PBB,dan PKPI pada putaran pertama. Seiring berjalannya waktu dan proses negosiasi,terbangunlah koalisi yang relatif kuat.
Fleksibilitas koalisi di Indonesia didukung oleh struktur sosial dan budaya yang didasarkan nilai kompromi tinggi. Budaya ini memberikan ruang negosiasi politik untuk mengakomodasi berbagai pihak.
Tinjau Jembatan Kemang Pratama yang Ambles, AHY Minta Perbaikan Dimulai Sore Ini
Sindikat TPPO di Bandara Soetta Terungkap, Korban Dijanjikan Gaji hingga Rp 30 Juta
SMAN 21 Bekasi Bingung Gelar Ujian Akhir Usai Terdampak Banjir
Tom Lembong Kecewa dengan Dakwaan Jaksa, Sebut Kerugian Negara Kasus Impor Gula Tak Jelas
KPK Panggil Kepala BPKH Terkait Kasus Investasi Fiktif Taspen
Praktik Curang Penyalahgunaan Barcode BBM Subsidi, Beli Rp 6.800 Dijual Rp 8.600 Per Liter
©hak cipta2009-2020 Berita Hansen Mobile Games